Senin, 01 Maret 2010

Problematika Perlindungan Hukum Karya Tradisional



Dalam tataran hukum Indonesia, setidaknya ada tujuh lingkup kekayaan Intelektual. Ketujuh lingkup kekayaan intelektual itu adalah cipta, paten, merek (di dalamnya ada indikasi geografis dan indikasi asal), rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman.

Karya tradisional adalah salah satu kekayaan intelektual yang berada dalam lingkup Hak Cipta. Terkait karya tradisional, akan lebih cenderung ke hak cipta. Bentuk kekayaan ini perlu dipahami terkait perlindungan karya-karya intelektual berupa karya tradisional yang lahir di daerah-daerah.

Hak Cipta seperti digariskan dalam UU No 19/22 khususnya Pasal 1 angka 1, disebutkan sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan Pencipta (Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta) adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Berbicara tentang Hak Cipta dikaitkan dengan karya tradisional maka akan berbicara tentang suatu ciptaan yang pada umumnya tidak diketahui penciptanya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 10 UU Hak Cipta “Bahwa Negara sebagai pemegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan budaya nasional lainnya.

Negara pula sebagai pemegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita hikayat, dongeng, legenda, babad, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan karya seni lainnya. Untuk memperbanyak ciptaan tersebut oleh yang bukan Warga Negara Indonesia, terlebih dahulu harus mendapat izin dari instansi terkait.

Jadi, suatu karya tradisional yang tidak diketahui penciptanya maka hak ciptanya dipegang oleh Negara, sedangkan ciptaan yang terkait karya cipta yang diketahui penciptanya maka hak ciptanya tetap dipegang dan menjadi milik penciptanya serta lahir secara otomatis.

Artinya, begitu suatu ciptaan dilahirkan tanpa didaftarkan sekalipun, secara otomatis menjadi miliknya, tetapi dengan melakukan pendaftaran maka akan memperkuat bukti bahwa si-pencipta itulah sebagai pemegang hak cipta.

Perlindungan Hukum

Salah satu problematika terkait perlindungan hak cipta atas suatu karya tradisional adalah jika suatu karya cipta telah dilahirkan dan diumumkan kepada masyarakat, maka pencipta beranggapan bahwa ciptaannya itu adalah untuk kepentingan bersama, sehingga siapa saja boleh mencontoh ciptaan tersebut dan penciptanya tidak mempermasalahkan, bahkan menjadi senang jika ciptaannya ditiru, diperbanyak atau dipertunjukkan oleh orang lain kepada umum.

Pencipta merasa tidak dirugikan akan tetapi sebaliknya merasa beruntung karya ciptaannya semakin memasyarakat. Lahirnya karya tradisional ini memang didasari oleh nilai-nilai tradisional dalam masyarakat yang bersifat komunal dan mementingkan kebersamaan. Keadaan ini tampak jelas dengan tidak ditonjolkannya nama pencipta atas karya-karya tradisional yang sudah turun temurun.

Banyak cerita rakyat, karya sastra, dan tari tradisional yang tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi tetap ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Problematika lain terkait dengan karya tradisional ini adalah di dalam UU Hak Cipta diatur bahwa “Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.”

Pengaturan yang menunjuk negara sebagai pemegang hak terasa berlebihan disebabkan karya tradisional ini lahir dan tumbuh di daerah-daerah yang memiliki otonomi sendiri. Selain itu karya tradisional yang ada di masyarakat setempat tersebut menjadi kebanggaan sebagai kekayaan budaya daerah. Sehingga seyogianya pemegang hak kekayaan intelektual atas karya tradisional adalah pemerintah daerah setempat.

Dengan demikian suatu karya tradisional yang berasal dari suatu daerah apabila diumumkan/dipertunjukkan di daerah lain, khususnya yang bersifat komersial, maka daerah asal karya tradisional tersebut dapat memperoleh royalti.

Jika pengenaan royalti terhadap karya tradisional di daerah lain tersebut diterapkan maka setiap daerah di wilayah Negara Republik Indonesia ini, masing-masing akan mendapat manfaat dari karya tradisional yang berasal dari daerahnya, meskipun nantinya jika terkait dengan perlindungan haknya secara internasional, tetap menjadi tanggung jawab negara.

Sebagai contoh upaya yang dilakukan pemerintah kota Makassar untuk mendaftarkan hak intelektual beberapa tari tradisional Makassar ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tari tradisional yang didaftar adalah tari Pakkarena dan Gandrang Bulo yang sudah sejak lama dikenal sebagai tari milik orang Makassar.

Yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta, yang mengatur bahwa negaralah yang memegang hak cipta atas folklore dan kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama termasuk tarian tradisional, hak intelektualnya bisa/dapat dimohonkan oleh pemerintah daerah setempat.

Kekayaan intelektual lain yang terkait dengan daerah tertentu yang bisa didaftarkan adalah indikasi geografis, tapi juga tidak tepat karena indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Meskipun indikasi geografis sebagai salah satu kekayaan intelektual yang mendapat perlindungan hukum sangat terkait dengan daerah tertentu, tapi penekanannya adalah barang yang berbeda karena faktor manusia dan alam atau keduanya sehingga membedakan dengan barang serupa dari daerah lain.

Pemahaman Perlindungan HaKI

Dari problematika perlindungan karya tradisional di atas, menjadi pelajaran untuk senantiasa memahami secara tepat tentang bentuk perlindungan hak kekayaan sesuai ruang lingkupnya. Sebab di kalangan masyarakat sendiri, masih rancu dalam memahami hak kekayaan intelektual ini, yang popular hanyalah istilah “paten” saja, padahal paten hanyalah satu di antara tujuh lingkup kekayaan intelektual.

Secara sederhana untuk memahami ruang lingkup perlindungan hak kekayaan intelektual (HaKI) ini adalah ketika berbicara tentang hak paten maka terkait dengan penemuan di bidang teknologi, hak cipta adalah ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, hak atas merek adalah perlindungan atas nama merek barang/jasa, desain industri adalah perlindungan atas desain industri baru, rahasia dagang adalah perlindungan atas informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, desain tata letak sirkuit terpadu adalah perlindungan suatu produk setengah jadi yang di dalamnya ada elemen aktif yang saling berkaitan untuk menghasilkan fungsi elektronik, sedangkan perlindungan varietas tanaman adalah perlindungan atas pemuliaan/pengembangan varietas atau spesies tanaman.

Kiranya dengan memahami berbagai bentuk perlindungan atas kekayaan intelektual menjadi acuan bagi masyarakat untuk menyadari pentingnya perlindungan atas HaKI dan tidak lagi rancu memahami bahwa kekayaan intelektual itu hanyalah hak cipta dan paten. Khusus untuk perlindungan karya tradisional yang ada di suatu daerah perlu untuk dikaji lebih jauh perlindungan hukumnya, agar pengalaman di mana begitu banyaknya karya-karya tradisional daerah yang kita miliki dicaplok dan diakui oleh bangsa lain. (**) http://metronews.fajar.co.id
Oleh: Sakka Pati, Dosen Fakultas Hukum Unhas

1 komentar:

Anonim mengatakan...

pusing klo belajar hukum....
tulisan yang bagus ni...

Posting Komentar

Beri Komentar pada blog ini

AdBrite