Jumat, 05/03/2010 11:45:35 WIB
Oleh: Martin Sihombing Situasi 'memanas'. Kendati telah berulangkali dijelaskan, permintaan penundaan itu tetap didesakkan. Pemerintah bergeming. Suara dengan nada miring, yang terkesan berisi tudingan ada main mata, menjadi rumor publik.
'Kompor' muncul di mana-mana. Kendati tidak secara terang-terangan, rumor itu juga sempat dijadikan 'kuda tunggangan' oleh para 'oposan', yah lumayan untuk curi perhatian sekaligus menebus dosa masa lalu dan 'balas dendam' setelah kalah di Pemilu 2009. Aksi permintaan penundaan terus digelontorkan.
Kerja sama perdagangan Asean-China (ACFTA) yang dipuji oleh pemerintah sebagai pemacu perdagangan dan investasi intra, pemotongan tarif impor sekitar 90% produk dan anggota menawarkan akses ke pasar gabungan dari 1,7 miliar konsumen. ACFTA lebih besar daripada perdagangan bebas Uni Eropa dan Amerika Utara dalam hal nilai perdagangan dan jumlah penduduk yang terlibat.
Namun, itu tetap tidak mampu meredam kritikan, penentangan, protes, kegelisahan hingga demo. Pemerintah mulai goyah akhirnya tak bergeming.
Kementerian Perdagangan diperintahkan untuk merajut ulang dan melihat barang dari pos tarif mana yang bisa direnegosiasikan. Goyangan tidak berhenti sampai di situ. Demo kecil-kecilan mulai bermunculan seperti cendawan di musim hujan. "Mekar, tapi dengan semerbak bau busuk," kata satu pejabat pemerintah di kawasan Abdul Muis kepada saya.
Dalam ACFTA ada 1.516 pos tarif sektor manufaktur yang tingkat bea masuknya berubah dari 5% menjadi 0% pada 1 Januari 2010, yang akhirnya menekan kinerja industri dalam negeri.
Pemerintah Indonesia, terlepas dari persoalan apakah akibat tekanan, akhirnya mengusulkan modifikasi komitmen pada 228 pos tarif dengan perincian masing-masing 146 pos tarif masuk 0% dan 60 pos tarif diusulkan menjadi 0%-5% pada 2018.
Boleh jadi, sosok keberhasilan ekonomi China saat ini, yang diawali 1979 oleh Deng Xiao Ping melalui reformasi ekonomi dan kebijakan membuka diri terhadap dunia internasional, yang pada 10 tahun lalu belum kita bayangkan, menjadi pemicu. Mental kalah sebelum bertanding, muncul dalam diri.
ACFTA yang ditandatangani 4 November 2004, sejujurnya, ketika diimplementasikan tidak lagi melahirkan kegusaran. Apalagi saat ditandatangani, keenam negara anggota Asean (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina) sepakat di mana FTA dengan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk produk berkategori early harvest package (EHP). Produk dalam EHP itu adalah hewan hidup, daging dan produk daging dikonsumsi, ikan, produk susu, produk hewan lainnya, pohon hidup, sayuran dikonsumsi, buah-buahan dikonsumsi dan kacang-kacangan.
Jika meminjam hasil 'rekam jejak' E. Gumbira Said, dari IPB pada acara diskusi ACFTA di IPB, boleh jadi, yang menjadi latar belakang ngepernya pebisnis di Indonesia a.l. karena Indonesia lemah dalam daya saing komoditas atau produk.
Selain karena perjanjian sangat ditentukan oleh pemerintah secara sepihak, sejak 2004 (saat ACFTA ditandatangani) Indonesia kurang fokus dan tidak cukup serius untuk menyiapkan diri.
China dominan
Ketakutan itu, layak dijadikan headline dalam sejumlah topik pembicaraan. Pasalnya, sederetan fakta, misalnya, setelah sejak 2004 sejumlah produk dari China sudah memperoleh bea masuk 0% oleh Pemerintah Indonesia, China lebih dominan.
Dalam kurun waktu 2004-2009, misalnya, perdagangan dengan China langsung menggetarkan Indonesia. Lantaran, dalam kurun waktu itu, defisit perdagangan Indonesia mencapai US$12,6 miliar alias Rp120 triliun.
Ada sejumlah pihak yang tetap optimistis bahwa Indonesia tidak perlu takut memasuki dan bersaing pada era ACFTA. Lantaran, seperti yang dinyatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Thomas Dharmawan, misalnya, Indonesia memiliki sejumlah modal. Pada dua tahun terakhir (2008 dan 2009) impor produk mulai mengalami penurunan dari US$1,9 miliar menjadi US$1,6 miliar.
Namun, seberapa besar pihak yang optimistis? Menghadapi ACFTA ketakutan menjadi terlihat diprioritaskan. Ketakutan hanya mematikan kreativitas. Padahal, bangsa ini, dalam perjalanan hidupnya, sudah terbiasa menghadapi perdagangan dengan China.
Salah satu contoh, misalnya, kisah Kesultanan Banten. Semua transaksi jual-beli lada di pasar di Banten, dilangsungkan dengan menggunakan mata uang China karena jumlah pedagang dari Negeri Tirai Bambu itu sangat mendominasi.
Namun, nyatanya, dalam waktu yang cukup panjang sejak ACFTA ditandatangani 2004, kreativitas pengusaha di Indonesia justru seperti dikerdilkan. Aksi pungli masih terus mewarnai dunia usaha di Tanah Air. Bangsa ini masih asyik dengan slogan: Jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah. Jika masih bisa 'pakai' duit, buat apa ibadah.
Di pelabuhan, di kantor-kantor pemerintah, hingga kini, siapa orang yang bisa menjamin bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah hilang? Siapa yang yakin segala urusan di Indonesia sudah menganut prinsip clean government? Lalu bayangkan, siapa yang yakin komoditas pertanian Indonesia akan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri jika produsen, yang merupakan badan usaha milik negara, masih ingin untung besar meski konsekuensinya harga jual komoditas seperti gula menjadi mahal?
Bangsa ini tidak pernah sadar sejarah. Dalam catatan sejarah, para pedagang China begitu kreatif. Pada era Kesultanan Banten, misalnya, menghadapi persaingan, mereka memindahkan 'perkampungannya' lebih merangsek ke pedalaman desa, sehingga lebih mendekatkan diri dengan perkebunan lada. (martin.sihombing@bisnis.com)
0 komentar:
Posting Komentar